Malang – Isu terkait perlindungan korban dan pelaku dalam kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) kembali menjadi sorotan. Seorang pakar hukum dari Universitas Brawijaya (UB), Dr. Ratna Suryani, S.H., M.Hum, mengingatkan pentingnya mematuhi aturan larangan penyebaran identitas pihak-pihak yang terlibat sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menurutnya, praktik membocorkan identitas korban maupun terduga pelaku TPKS di media sosial dan media massa bukan hanya melanggar etika jurnalistik, tetapi juga berpotensi menjerat penyebarnya dalam jerat hukum. “Undang-Undang TPKS dan KUHP jelas mengatur larangan tersebut. Baik korban maupun pelaku memiliki hak untuk dilindungi dari stigma sosial sebelum ada kepastian hukum,” jelas Ratna.
Perlindungan Hukum yang Tegas
Dr. Ratna menegaskan bahwa Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengatur secara eksplisit larangan mengungkap identitas korban, keluarga, dan saksi. Hal ini bertujuan untuk mencegah dampak psikologis maupun sosial yang dapat merugikan pihak-pihak terkait.
“Tidak hanya korban, identitas terlapor atau terduga pelaku pun tidak boleh diungkapkan sembarangan sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Prinsip praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada sanksi pidana, termasuk denda yang tidak kecil.
Maraknya Kasus di Media Sosial
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus TPKS sering kali menjadi viral di media sosial. Sayangnya, tidak jarang netizen dan bahkan media ikut menyebarkan identitas secara terbuka, mulai dari nama, foto, hingga alamat.
“Fenomena ini memperlihatkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Begitu informasi beredar, dampaknya bisa sangat panjang bagi psikologis korban, keluarga, bahkan terlapor,” kata Ratna.
Ia menambahkan, penyebaran identitas yang terlalu dini justru berpotensi mengganggu proses hukum, karena bisa mempengaruhi opini publik dan menekan pihak berwenang.
Etika Media dan Netizen
Ratna juga mengajak media untuk lebih berhati-hati dalam memberitakan kasus TPKS. Kode etik jurnalistik mengharuskan wartawan merahasiakan identitas korban, terlebih jika kasus masih dalam tahap penyelidikan.
“Media memiliki peran penting dalam edukasi hukum. Jangan hanya mengejar sensasi atau klik, tapi abaikan aspek perlindungan terhadap pihak yang rentan,” ujarnya.
Sementara itu, untuk masyarakat umum, Ratna menegaskan bahwa membagikan ulang informasi yang memuat identitas pihak TPKS di media sosial juga termasuk pelanggaran hukum, info selengkapnya klik di sini:
◉ https://gribjayamalang.org/hukum/pakar-hukum-ub-ingatkan-larangan-sebar-identitas-tpks-sebelum-putusan/
◉ https://gribjayamadiun.org/hukum/4-orang-diperiksa-terkait-temuan-tas-penuh-amunisi-di-tol-madiun/
◉ https://gribjayamojokerto.org/ekonomi/gerakan-pangan-murah-di-mojokerto-beras-3-ton-ludes-sejam/
◉ https://gribjayapasuruan.org/2025/08/15/sambut-hari-jadi-ke-77-puluhan-polwan-di-polres-pasuruan-donor-darah/
◉ https://gribjayapurwokerto.org/wisata/7-oleh-oleh-purwokerto-yang-wajib-dibeli-wisatawan-saat-liburan/
Ajakan Meningkatkan Literasi Hukum
Di akhir pernyataannya, Dr. Ratna mengajak masyarakat untuk meningkatkan literasi hukum, khususnya terkait hak dan kewajiban dalam kasus TPKS.
“Perlindungan hukum bukan hanya tugas aparat, tetapi juga tanggung jawab kita semua. Jangan sampai niat membantu justru melukai korban atau menghambat proses keadilan,” pesannya.
Dengan mematuhi larangan penyebaran identitas sebelum putusan, diharapkan proses hukum dapat berjalan adil tanpa adanya tekanan publik yang tidak semestinya. Kesadaran ini menjadi bagian penting dari upaya membangun masyarakat yang lebih peduli, berempati, dan taat hukum.